Paksa Anakmu

By. Dedi Haeruzi - Bolehkah memaksa anak? 
Ketika anak akan dilahirkan kita harus memaksanya agar ia bisa bisa dilahirkan dengan selamat. Caranya adalah dengan menkomsumsi makanan bergizi dan menjaga kesehatan, aktivitas, dan pikiran agar tetap dalam kondisi terbaik. Bagaimana jika pada kondisi tertentu si anak tidak mau keluar dari singgasananya di alam rahim? Paksa dia keluar dengan cara operasi sesar. Sekali lagi, paksa! Paksa ia untuk tetap hidup dan selamat, paksa untuk bisa menyelamatkan hidup ibu yang telah mengandungnya. Jangan biarkan ia memilih antara hidup dengan mati, ia harus dipaksa memilih hidup. Jangan beri ia kebebasan untuk menentukan jalannya sendiri, kita harus menunjukkan jalannya supaya ia berhasil terlahir ke dunia dengan kondisi terbaik.

Ketika anak sudah terlahir, paksa ia supaya bisa menikmati ASI, paksa juga agar nyaman berpakaian, selimutilah. Paksa ia agar mandi dengan riang, pastikan hanya makanan yang baik yang boleh masuk ke mulutnya, bila perlu paksa ia agar mau disuntik (vaksin) imunisasi walaupun ia menangis, biarkan ia berontak ketika rambutnya dicukur, paksa ia menerima nama terbaik yang sudah kita siapkan jauh-jauh hari. Jangan biarkan ia memakan sembarang makanan, jangan biarkan ia menggigil kedinginan tanpa pakaian, juga jangan biarkan ia mencari nama sendiri untuk dirinya.

Ketika anak kita memasuki usia sekolah, paksa ia agar memiliki keinginan bersekolah, paksa dengan berbagai rangsangan agar jiwanya menyukai dunia luar selain rumahnya, paksa agar ia merasa bangga mengenakan seragam sekolah, paksa ia agar hatinya menerima sekolah terbaik yang kita tuju untuk didaftarkan. Tidak usah kita beri kebebasan memilih antara masuk sekolah atau terus bermain, jangan kita beri pilihan antara memakai seragam sekolah atau pakain “bat-man”. Jangan biarkan ia mengikuti keinginan untuk selalu bolos sekolah dan tidak mengerjakan PR. Mari paksa anak kita mencintai dan menikmati kebaikan.

Ketika anak kita mecapai akil baligh, memasuki dunia remaja, paksa ia berada di jalan Tuhan. Paksa ia mengenal Pencipta alam, paksa dengan berbagai macam cara yang menyenangkan agar ia menjadi manusia harapan. Berikan padanya bacaan-bacaan mencerahkan, jejali tontonannya dengan tayangan penuh kebijaksanaan, suguhi ia dengan permainan yang mencerdaskan. Jangan biarkan ia menentukan dan mencari Tuhan sendirian. Tidak usah ia diberi pilihan antara mau beragama atau tidak, antara berbuat kebajikan atau kejahatan. Tidak ada pilihan antara beriman atau tidak beriman.

Ketika anak kita memasuki sekolah lanjutan, paksa ia memahami masa depan. Paksa ia mengerti kehidupan, berikan ia asupan informasi pembuka wawasan, tuangkan kepadanya referensi pengetahuan, tunjukkan kepadanya profil teladan. Paksa pikirannya menuju sekolah pilihan, paksa hatinya mendambakan sekolah terbaik untuk pendidikan. Jangan biarkan ia bebas memilih antara nafsu dan cita-cita. Jangan beri ia pilihan antara menuntut ilmu atau pacaran. Jangan biarkan ia asyik dengan kemaksiatan, jangan biarkan ia cenderung menyukai jalanan dari pada pengajaran. Tidak ada pilihan antara menjadi cendikiawan atau gelandangan.

Dalam kehidupan ini tidak ada pilihan apakah harus berbuat baik atau buruk. Tidak ada pilihan antara harus bekerja atau tidak bekerja. Kita hanyalah boleh memilih antara suatu kebaikan atau kebaikan lainya. Jangan kita beri anak kita kebebasan antara memakai baju atau tidak memakai. Kita hanya boleh memberi ia kebebasan antara memakai baju putih atau baju warna lainnya, antara memakai kemeja atau baju takwa, karena sama-sama baiknya.

Seorang bapak mengeluhkan anaknya bahwa dia tidak mau masuk pesantren, anaknya hanya mau sekolah di sekolah yang tidak jauh dari rumahnya karena tak mau berpisah dengan teman-temannya, karena tak mau capek-capek ikut aturan pesantren yang ketat, juga sudah terlanjur cinta kepada gadgetnya. Bapak tersebut mengatakan bahwa ia tidak bisa memaksa anaknya, padahal ia menginginkan hal yang tidak menjadi keinginan anaknya. Dalam hati saya mengatakan: “Betul, Bapak kelihatannya memang tidak pernah memaksa anak Bapak.”
Kenapa kita tidak bisa memaksa anak? Boleh jadi kita belum memaksanya.

Posting Komentar

0 Komentar