Barangku Hilang Bunda


By. Dedi Haeruzi - Bagaimana perasaan anda saat kehilangan? Sedih pastinya. Yang namanya kehilangan pasti menyisakan perasaan yang tidak menyenangkan di hati dan pikiran, baik itu kehilangan barang, uang, teman, mantan, eh mantan… hanya kehilangan penyakit yang membahagiakan.

Seorang wali santri mengeluh di grup Whatsapp, bahwa anaknya baru saja telepon dan melaporkan barang-barangnya hilang. Bahwa anaknya sudah pernah kehilangan sepatu, pakaian, dan apa lagi sandal, sudah tak terhitung. Dia mengeluh kalau begini terus habis biaya hanya untuk membeli berbagai keperluan tadi, kenapa kok di pesantren malah sering kehilangan? Apakah di sana banyak pencuri?

Tak lama setelah wali santri yang satu mengeluh, berbondong-bondong wali santri yang lainya menimpali, tak mau kalah mereka juga bercerita masalah kehilangan yang dialami anaknya, dan dikesankan lebih dari yang dialami oleh yang mengeluh pertama kali. Yang lainnya terus menimpali dan harus dikesankan lebih parah dan lebih mengenaskan. Semuanya berlomba bahwa anaknya lah yang paling sering kehilangan, dan dia termasuk orang tua yang paling santai.

Pada suatu hari di minggu-minggu pertama anak saya di pesantren, di menelepon mengatakan beberapa bajunya hilang beserta gayung dan peralatan mandinya yang ditaruh dalam ember, hilang beserta embernya. Kemudian saya sarankan membeli beberapa dulu yang mendesak, ada pun ember dan yang belum mendesak nanti saja, saya pun menyarankan untuk mencarinya lagi dan lagi, berkeliling di sekitar tempat kehilangan. Dua hari kemudian dia menelepon lagi melaporkan bahwa embernya sudah diketemukan, beserta isinya.

Di lain waktu anak saya juga menelepon dan bercerita bahwa sepatunya hilang, hilang di tempat muhadharah (latihan berpidato), menurut ceritanya dia taruh sepatunya di laci meja, dan kemudian mejanya disusun sedemikian rupa untuk latihan muhadharah, dan ketika waktu muhadharah berakhir dia mencari dan tidak diketemukan. Menurutnya, dia sudah berusaha mencari dan menunggu sampai akhir, sampai tidak ada lagi orang di sana. Akhirnya dia pulang ke asrama tanpa sepatu. Saya sarankan dia untuk meminjam terlebih dulu kepada teman, atau kalau ada uang saya persilakan untuk membeli sendiri di pondok. Saya juga menyarankan untuk datang lagi ke tempat tersebut esok harinya untuk mencari lagi, dan lagi. Walau demikian akhirnya saya membelikan lagi sepatu untuk dia dan dimasukkan ke dalam paket yang memang siap untuk dikirim pada hari itu. Sebelum kiriman paket sampai ke tangannya, dia menelepon lagi dan mengabari bahwa sepatunya sudah ditemukan. Alhamdulillah. 

Suatu ketika dia menelepon meminta sandal lagi, tolong belikan sandal yang murah saja, katanya. Padahal belum lama saya kirim sandal jepit di paketnya. Saya tanya kenapa sandalnya hilang? Apakah tidak dimasukkan ke dalam tas sandal? Benar saja, ternyata sandalnya hilang di depan kantor Admnistrasi, katanya buru-buru dan tidak sempat dimasukkan ke dalam tas sandal untuk dibawa masuk ke kantor. Saya jelaskan bahwa kalau seperti itu ya wajar saja hilang, di sana kan banyak orang, semuanya buru-buru karena aktivitas yang sangat padat, sebenarnya tidak hilang tapi kitanya yang susah mendapatkan kembali sandal kita di antara tumpukkan puluhan bahkan ratusan sandal.

Kehilangan barang yang dialami santri, terlebih lagi santri baru adalah kejadian yang dialami oleh hampir seluruh santri, bahkan semua santri. Dan terjadi di hampir semua pesantren. Pesantren adalah tempat berkumpulnya ribuan orang dengan aktivitas yang sangat padat, wajar saja banyak terjadi kehilangan barang. Kalau ditelusuri, sebenarnya yang terjadi bukanlah kehilangan dalam artian diambil atau dicuri orang, melainkan ketidakdisiplinan dalam menjaga barang, atau kekurangsabaran dalam menemukan kembali milik sendiri.

Kalau kita simpulkan dari cerita anak, dan atau dari pengalaman pribadi, penyebab paling besar kehilangan barang adalah faktor pribadinya, sebebarapa teledor ia terhadap barang miliknya? Atau sebaliknya, sebarapa teliti dan dan seberapa acuh ia terhadap semua barang yang dimilikinya. Tidak mengherankan bahwa santri yang tamatan SMP lebih jarang kehilangan barang dibanding santri lulusan SD. Atau, santri yang sudah terlatih mandiri sejak di rumah dia akan lebih jarang kehilangan barang dibanding santri yang ketika di rumah masih sering dilayani.

Dengan demikian, untuk meminimalisir kehilangan adalah dengan cara lebih meningkatkan lagi penjagaan dan kesabaran dalam menjaganya. Ketika masuk ke ruangan apapun, bawalah sandal dengan dimasukkan ke tas sandal. Ketika menjemur pakaian, luangkanlah waktu untuk segera mengambilnya, jangan biarkan berlama-lama apalagi sampai berganti hari, karena pakaian kita yang dijemur akan tergeser oleh pakaian orang lain, atau akan jatuh dan dibersihkan oleh petugas. Jangan pernah kita menaruh barang bukan di tempatnya, karena dipastikan akan hilang atau berpindah tempat. Saya ingat di Masjidil Haram pun terpasang tulisan yang artinya: “Jangan letakkan barang anda di sembarang tempat, karena pasti akan ditertibkan oleh petugas”.

Saran-saran di atas adalah bersifat umum, boleh jadi ada tips lebih khusus yang berlaku di masing-masing kampus. Bertanya lah kepada senior atau alumni kampus tersebut. Karena walau pun sesama Gontor, ternyata budaya dan pola kehidupan sehari-hari sedikit berbeda antara Gontor kampus putra dengan kampus putri, atau kampus satu dengan kampus lainnya.

Yang paling penting dari semua ini adalah jangan panik ketika mendapat laporan atau keluhan dari mujahid-mujahidah kita. Jangan juga kita menyalahkan atau menunjukkan kekecewaan terhadap anak kita apa lagi terhadap pesantren. Jangan sampai keluar kata-kata dari mulut kita yang bernada tidak percaya kepada anak kita dan pesantrennya, pun jangan kita menyalahkan atau menduga-duga temannya yang bersalah. Yang dibutuhkan anak kita adalah support, kata-kata yang menenangkan dan memberikan solusi. Ketika anak kita menangis saat menelepon, sebetulnya bukan tangisan yang ingin ia tunjukkan, tetapi ia sedang menunggu kata-kata yang menguatkannya walaupun ia sudah tau apa yang akan diucapkan. Dia hanya kangen dan ingin mendengar lagi kata-kata yang membuat dia semangat, jika ia tak mendapatkan itu, ia akan lebih jarang menelepon kita.

Bersabarlah, semakin waktu berlalu, semakin lama ia di pondok, akan semakin jarang pula kita menerima keluhan kehilangan, atau keluhan-keluhan lainnya. Bahkan akan semakin jarang ia menelepon kita, saat itu kita yang akan merasa kehilangan.

Posting Komentar

0 Komentar