Sesuatu Yang Hilang

By. Ust. Nasrullah Zarksyi - Dulu, jika ada keluarga pondok, kyai, guru, atau santri pergi ke luar negeri, berhaji, melanjutkan studi, atau menjadi delegasi tertentu, akan diadakan upacara. Isinya, pidato-pidato atau sambutan dari Pengasuh dan Direktur, juga yang akan dilepas, kemudian pelepasan. Ketika itu, jamaknya, semua santri berkumpul di depan rumah Pengasuh atau Direktur, atau di depan Balai Pertemuan.

Setelah pidato-pidato usai, yang akan pergi pun naik kendaraannya, sementara para guru dan santri telah berjejer membentuk pagar betis hingga gerbang pondok (sebelah barat gedung Tunis atau timur menara masjid). Pada dekade ’60―‘70-an, tentu saja, kendaraan itu bukan mobil melainkan dokar. 


Menjelang kendaraan bergerak, K.H. Ahmad Sahal, Pengasuh Pondok, dengan penuh emosional akan meneriakkan takbir tiga kali, Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Ratusan hadirin pun menyambutnya dengan tak kalah gegap gempita. Tak seorang pun hadirin yang tak gemuruh dadanya, seakan meledak. Seolah, mereka mengantarkan pasukan yang akan berjuang, bertempur di medan laga.


Pada ketika itu, para kerabat akan terisak, menangis haru, bahwa bagian hidupnya pergi berjuang, demi agama, demi pondok.


Sekitar tahun 1967, pasca Peristiwa 19 Maret, Pondok Modern Darussalam Gontor mengirimkan 3 kadernya, Hasan Abdullah Sahal dan Sutaji Tajuddin (Gontor), dan Amin Hadi (Semarang), melanjutkan studi ke Madinah. Bagai ketiganya, itu adalah kepergian ke luar negeri untuk pertama kalinya. Karena melanjutkan studi, tentu akan sangat lama. Mengingat hal itu, kader Sutaji pun dibawai setandan pisang oleh ibunya.


Dengan harapan, anaknya tidak akan kelaparan, karena memang tidak ada harta lain yang dimiliki kecuali hasil bumi itu. “Ya, akhirnya, terpaksa saya bawa. Tapi, alhamdulillah, sampai Semarang, di rumah Amin Hadi, pisang itu sudah habis,” begitu kisah Ust. Sutaji (alm.) suatu ketika.


***


Tahun 1972, atas pilihan Menteri Agama RI ketika itu, Prof. Dr. H.A. Mukti Ali, K.H. Imam Zarkasyi diutus berangkat ke Cairo, utusan Indonesia untuk mengikuti Muktamar Umat Islam Se-Dunia (Mu’tamar Majma‘ al-Buhuts al-Islamiyah). Datang delegasi dari berbagai penjuru dunia, terutama negara-negara Islam.


Singkat cerita, dalam acara itu, karena amat banyak delegasi yang ingin menyampaikan pikirannya, hampir-hampir K.H. Imam Zarkasyi tidak mendapat kesempatan. Syukur alhamdulillah, akhirnya panitia memberi kesempatan, setelah sebelumnya “dirayu” bahwa pidato beliau hanya sebentar.


Setelah naik podium internasional itu, K.H. Imam Zarkasyi menyampaikan pidatonya dalam bahasa Arab fushha yang fashih dan adib. Dua hal yang disampaikan beliau. Pertama, gambaran tentang aliran kebatinan di Indonesia, dan kedua –ini yang sangat penting—usul mengenai pentingnya bahasa Arab diresmikan sebagai bahasa persatuan ummat Islam se-dunia. 


Jelas, hadirin terperangah, bahwa ada seorang delegasi dari negara non-Arab, antah berantah, dengan penampilan sederhana namun rapi, mampu memikat hadirin, berbicara dan berkata tentang bahasa Arab. Tak ayal, kesempatan yang sedianya hanya sebentar diberikan kepada K.H. Imam Zarkasyi, diperpanjang secara otomatis, setelah moderator pun merasa kagum dan salut atas pemikiran di atas.


Usai sidang, puluhan orang mengerumuni Pak Zar. Selain menyatakan simpatinya, di antara mereka, tentu, juga bertanya dari mana asalnya, bagaimana belajar bahasa Arab, termasuk, pertanyaan di negara Arab mana beliau pernah belajar. Dengan sabar dan rendah hati, serta sikap khas Gontor-nya, beliau menjawab apa adanya. Bahwa beliau belajar bahasa Arab di Indonesia, kepada seorang pelarian politik asal Tunisia.


Dikatakan juga bahwa beliau belum pernah belajar ke negara Arab manapun. Sanjung puja tak lepas dari para delegasi serta Syekh Azhar ketika itu, Abdul Halim Mahmud. Empat tahun kemudian, Tahun 1976, Syekh Azhar itu pun sempat ke Gontor untuk melihat langsung tempat K.H. Imam Zarkasyi berjuang. Tak ketinggalan, Radio Mesir mengadakan wawancara khusus dalam sebuah programnya yang cukup panjang.


Pidato Pak Zar dalam Muktamar itu, kemudian, dimuat lengkap dalam berbagai media massa internasional, serta dalam berbagai bahasa, seperti Arab, Inggris, dan Prancis.


Puluhan tahun kemudian, ketika PM Gontor, tepatnya Institut Studi Islam Darussalam menyelenggarakan Muktamar Internasional Antarperguruan Tinggi Islam. Dalam salah satu poin keputusannya yang dibacakan oleh Wakil Rektor Al-Azhar, bahasa Indonesia disepakati sebagai bahasa Muktamar. Allahu Akbar!


Selepas menunaikan tugas negara itu, Pak Zar, didampingi putra sulungnya dan beberapa alumni, menuju Makkah untuk menunaikan ibadah umrah, baru kemudian pulang ke Indonesia.


***


Menjelang keberangkatannya ke Jakarta menuju Cairo Mesir, melalui stasiun kereta api Madiun, beliau dilepas segenap ahli ma‘had di depan rumah. Sore itu, saat para santri yang tengah bersiap ke masjid, seketika berjajar membentuk pagar betis.


Setelah pidato pelepasan disampaikan Pak Sahal, disambung dengan pidato pamitan oleh Pak Zar, Pak Zar menaiki kendaraan yang akan mengantarkannya menuju stasiun Madiun. Begitu kendaraan bergerak perlahan, sontak K.H. Ahmad Sahal meneriakkan takbir: Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Takbir pun disambut gemuruh oleh para guru dan santri. Situasinya sangat mencekam, emosional, mengharukan, susah digambarkan. Saya yakin, tak satu pun dada hadirin yang tidak larut dalam situasi yang emosional itu, bergetar hebat; ikut gemuruh, demi menirukan takbir Pak Sahal.


Yang menarik, bukan hanya keluarga dan sejumlah guru, Pak Sahal dan para guru KMI ikut mengantarkan hingga stasiun Madiun; guru-guru menaiki truk satu-satunya milik pondok.


Di stasiun Madiun, begitu kereta api Bima datang dari arah Surabaya, barang-barang pun dinaikkan ke atas kereta. Saat menanti keberangkatan kereta dan Pak Zar sudah naik di atas kereta, beliau berhenti sebentar, menatap saya tajam. Sebentar kemudian, dari saku jasnya dikeluarkan 3 keping uang receh Rp 50. Ya, lima puluh rupiah. Diserahkannya uang itu kepada saya, dengan pesan, “Nih, dibagi bertiga dengan Oyiek dan Mas Hamid.” Jelas, dalam keharuan itu saya girang bukan alang kepalang.


Maklum, selama sekolah, kami sama sekali tidak pernah diberi sangu (uang saku). Maka, uang Rp 50 itu sangat berharga bagi saya. Nilainya sama dengan 10 mangkok dawet Jabung. Sayang, saya lupa, untuk apa uang itu saya belanjakan. Kalau tidak salah, peralatan sekolah seperti pensil, penggaris, atau buku pelajaran.


Perlahan, kereta berangkat merayap, menapaki relnya menuju Jakarta. Gema takbir kembali diteriakkan Pak Sahal dengan lebih keras, lebih emosional. Di pintu kereta, tampak Pak Zar melambaikan tangan. Air matanya tampak meleleh di balik kacamatanya. Air mata yang sama menetes di pipi Pak Sahal dan segenap pengantar: air mata keharuan, air mata kebanggaan, air mata kesyukuran melepas Pak Zar menjadi delegasi Muktamar Internasional.

Posting Komentar

0 Komentar