Penyakit Merasa Besar

By oky rachmatulloh

KH Hasan Abdullah sahal dalam sebuah pertemuan pada peringatan kelahiran sebuah pesantren yang dikelola alumni menyatakan bahwa, penyakit sebuah pesantren adalalah merasa cepat besar, santrinya baru tumbuh beberapa santri, kepercayaan yang diberikan masyarakat juga baru ada, belum seberapa dan belum juga kuat.

Tapi inilah penyakit pimpinan pesantren itu, merasa pesantrennya sudah besar, lalu dibangun luar biasa, bangunan di perbanyak, dipermewah, Infrastruktur dibangun luar biasa, tanpa disadari bahwa membangun orang dibalik semua yang dia bangun itu, tidak kalah penting untuk di kembangkan.

Membangun sesuatu itu mudah dan gampang. Tapi membangun masyarakat penghuni bangunan itu menjadi beradab sehingga bisa memelihara semua yang dibangun itu, itulah yang susah, Itulah yang mebutuhkan waktu, itulah yang membutuhkan ketelatenan. 

Hal inilah yang kurang disadari atau lebih dari itu kurang dimengerti oleh sebagian pimpinan pesantren saat ini. Sehingga mereka habis-habisan membangun semua bangunan, tapi pasti ada saatnya di mana bangunan itu membutuhkan perawatan yang jauh lebih baik, para Kiyai itu kebingungan mencari orang yang merawatnya. 

Membangun bangunan itu mudah, karena dia benda mati. Cukup kumpulkan bahan bangunannya, kumpulkan pekerjanya, lalu kerjakan, selesai. Tapi membangun mental penghuninya? Dia makhluk hidup, butuh bimbingan dan ajaran, pendidikan dan pembiasaan, pengkaderan dan pengabdian kemasyarakatan, pengorbanan, dan keseriusan menjadi suatu hal yang layak diperhatikan. 

Memang pergedungan menjadi salah satu hal yang yang layak mendapat perhatian utama. Tapi jika melihat sejarah pesantren, di mana ada seorang Kiyai, lalu ada beberapa orang santri menuntut ilmu darinya, pertama kali diterima dan diinapkan di rumah Sang Kiyai sambil membantu Kiyai. Lama kelamaan santri yang ingin menimba ilmu cukup banyak, sehingga rumah Kiyai tidak lagi mencukupi. Maka atas izin Kiyai, para santri senior membangunkan Gubuk, atau “pergedungan” untuk para santri. 

Maka bisa kita simpulkan bahwa gedung itu dibangun atas prakarsa santri dan izin dari Kyai. Adanya gedung, tentu saja melihat jumlah santri yang datang, jika pesantren mampu, seorang Kiyai tentu akan membangun gedung asrama sesuai dengan jumlah santri yang datang. Tapi kalau belum mampu, ya tentu saja Kiyai yang berhak menilai, siapa yang bisa diterima sebagai santrinya dan siapa yang belum.

Karena gedung adalah salah satu jaminan seorang santri bisa belajar dengan aman dan nyaman. Bisa beristirahat dengan baik, bisa beraktifitas lain dan baik pula. Agar proses belajar yang diberikan para Guru bisa terserap dengan baik pula kepada santri-santrinya. Maka jika memang belum mampu, tidak usahlah memkasakan diri menerima semua santri yang mendafftar. Karena fasilitas pergedungan yang dibutuhkan tentu saja bukan sekedar kamar tidur saja, tapi juga kamar mandi, jemuran baju, tempat mencuci, tempat berwudlu, sarana pergedungan untuk santri berolah raga dan bermain, maka hal ini yang harus difikirkan masak-masak. Bukan asal membuat Gedung, lalu dihuni, tapi semua fasilitas penunjangnya tidak dibangun.

Saya merasa kasihan sekali, di sebuah pesantren di ponorogo ini, disebutkan bahwa satu kamar di diisi sampai 55 santri, belum kamar mandinya, belum sarana yang lain, tapi setiap tahun selalu menerima santri dari yang tidak diterima di Gontor. Yah, semoga ini Cuma apa yang saya dengar saja, bukan nyatanya demikian....

Yang lebih penting adalah membangun penghuninya. Menyiapkan kesadaran mereka bahwa semua gedung ini hakekatnya adalah peninggalan kakak-kakak mereka, lalu mereka membangun gedung yang baru untuk adik-adik mereka. Mereka harus menjaga hal ini karena ini amanah dari santri senior. Bukan seenaknya memakai, seenaknya menggunakan, merasa seolah-olah mereka yang ikut membangun, padahal peran mereka tidak ada sama sekali.

Dinding dicoret-coret, kamar mandi dirusak, kencing tidak disiram, taman di porak-porandakan, fasilitas dapur tidak dipelihara, masjid dibuat kamar yang kotor dan tidak dijaga kebersihannya. Ini yang terjadi di beberapa pesantren, sehingga kesan yang ada adalah pesantren itu kumuh dan tidak layak disebuat lembaga pendidikan.

Maka inilah disebut Kiyai hasan sebagai Kiyai jangan cepat merasa Besar. Ingin pondoknya cepat dikenal. Ingin pondoknya cepat bisa memberi kontribusi. Padahal masih baru tumbuh, baru dikenal, baru di percaya, alangkah baiknya jika Kiyai memelihara ini dulu. Membangun kepercayaan masyarakat, membangun kepercayaan dengan para tokoh, membangun persepsi baik di tengah masyarakat. Sehingga pesantrennya di kenal betul dengan penghasil penuntut ilmu yang baik dan bijaksana. Bukan hanya sekedar bisa mambnagun sarana dan fasilitasnya.

Posting Komentar

1 Komentar