Belum terlacak melalui penelitian ilmiah, siapa pertama kali yang memberi nama Tunis, nama negara di benua Afrika itu. Tapi pastinya bahwa di Gontor beberapa gedung dan kawasan diberi nama dengan nama negara. Seperti gedung Saudi Arabia, Gambia, Palestina, Mesir, nama benua, seperti gedung Asia, bahkan nama planet, seperti gedung Satelit, di samping tentu saja nama gedung Indonesia; Rayon Indonesia Satu (RIS), Asrama Rayon Indonesia Dua (Arinda), Rayon Indonesia Tiga (Rita), Rayon Indonesia Empat (Riem).
Tampaknya walaupun santri Gontor bukan semua orang kota, bahkan kebanyakan berasal dari desa seperti saya, asal Banglades (Bangsa Lamongan nDeso), tetapi Pondok ingin mengajarkan kepada santri tentang pentingnya wawasan nasional, regional, bahkan internasional. Pondok tidak memberi nama dengan nama pulau atau kota di Indonesia, umpama gedung Jawa atau gedung Sulawesi, tidak pula memberi nama dengan nama tokoh umpamanya, gedung K.H. Ahmad Sahal. Pondok tidak ingin santrinya berwawasan primordial atau mengkultuskan tokoh tertentu. Nama Tunis tentu nama asing sekali bagi santri kampung seperti saya.
Konon, dari ceritera senior alumni Gontor, dulu beberapa sumur milik orang di desa Gontor menjadi pusat kumpul santri, seperti sumur Bu Soleh, milik keluarga Pak Soleh yang sekarang menjadi kawasan komplek Solihin. Belum diketahui sumur Tunis itu dulu milik siapa. Tetapi bahwa sumur-sumur itu menjadi semacam titik kumpul bagi kelompok santri tertentu, tidak saja untuk belajar, bermain, dan bercengkerama, tapi juga untuk membangun "superioritas" kelompok santri atas yang lain dalam ajang bersaing memperebutkan berbagai prestasi kesantrian. Bila ada santri yang unggul di bidang tertentu, maka mereka bertanya, dari sumur siapa. Termasuk andaikata ada yang berbuat salah, akan ditanyakan asal sumur mana.
Empat tahun lalu, Syawwal 1437 (2016), saya mengantar anak masuk Gontor, Abdullah Nur Qalbi Shabah (Nuqqie) yang sekarang sudah kelas enam (setingkat kelas 12 SMA). Saat itu saya membeli beberapa kebutuhan anak di Kopel. Ternyata Kopel baru pindah di belakang Kopel lama. Sedangkan Kopel lama digunakan sebagai Kantor Bagian Keamanan. Kopel baru menghadap Al-Qa'ah Al-Ijtima'iyyah (Balai Pertemuan Pondok Modern, BPPM). Kopel baru dibangun persis di kawasan Sumur Tunis itu. Sumur telah tertutup dengan bangunan besar cukup megah. Kopel itu penuh dengan berbagai kebutuhan pelajar dari peralatan sekolah, pakaian, peralatan mandi, kamar tidur dan lain sebagainya.
Saat anak saya membeli berbagai keperluan, saya mengenang Sumur Tunis, sumur legendaris bagi santri, terutama anak kelas enam. Setiap tahun, kelas enam dari periode ke periode memiliki pengalaman indah tentang Kawasan itu. Saya adalah salah satu alumni Gontor periode 1984, dengan grup alumni bernama Algodam '84 (Alumni Gontor Darussalam). Kawasan Sumur Tunis saat itu luasnya sekitar 1000 m2 dibatasi dengan pagar tinggi sebelah barat dan timur, gedung Kopel sebelah selatan, dan gedung Bapenta sebelah utara. Ada pintu besar masuk kawasan itu. Sumur berada di sebelah selatan agak berdekatan dengan tembok Kopel. Mulut sumur berukuran besar berdiamer sekitar 2 meter.
Dalam kawasan itu ada kamar mandi pancuran, terbuka dengan hanya kamar-kamar tanpa pintu dan tanpa atap. Tentu bisa dibayangkan bagaimana mereka kalau mandi. Beberapa teman yang iseng suka mengganggu temannya yang sedang mandi, umpamanya, menyembunyikan pakaian yang diletakkan di atas dinding pembatas kamar mandi. Atau bagaimana bila lagi mandi tiba-tiba hujan turun. Selain itu, ada tempat luas yang bisa digunakan untuk berbagai kegiatan seperti tajammu' (kumpul beberapa orang untuk ngobrol sambil ngegohwah, ngopi, membahas berbagai masalah), riyadhah (olahraga) ringan, atau halaq (cukur rambut) secara bergantian.
Hanya kelas enam yang bisa masuk kawasan ekslusif, Sumur Tunis. Kelas enam adalah "penguasa" santri. Mereka yang memegang kepemimpinan dalam organisasi santri bernama Organisasi Pelajar Pondok Modern (OPPM). Kawasan Tunis menjadi tempat melepas lelah bagi kelas enam di sela-sela kegiatan mengatur berbagai kegiatan santri.
Masuk kawasan itu artinya masuk ke dalam wilayah netral, suasanya bebas santai setelah sebelumnya dalam suasana penuh nufudz (wibawa) di hadapan santri. Di sana mereka bisa bebas tertawa setelah sebelumnya pasang aksi "angker" menyeramkan. Mereka bisa jingkrak2 bergoyang mengikuti nyanyian seorang shahib dengan iringan gitar seadanya. Mereka bisa menendang bola kuat-kuat, berlari-lari kecil, lompat, push up, mencari keringat. Mereka bisa teriak, beratraksi, melampiaskan isi hati, menumpahkan uneg-uneg. Mereka bisa melepas dasi, jas, peci, dan sajadah setelah "tugas suci" mendisiplin santri. Mereka bahkan bisa melepas semua busana untuk terjun berenang berendam ke dalam Sumur Tunis itu.
Kegiatan bebas di kawasan sumur Tunis Tunis paling menarik adalah terjun ke dalam sumur. Tentu saja bagi yang mempunyai keterampilan berenang dan memanjat. Sumur itu hanya diberi tali besar yang diikat kuat ke tiang jemuran baju, menjulur ke dalam sumur. Berani terjun ke sumur artinya bisa dan lihai berenang, sekaligus terampil memanjat tebing sumur berpegangan tali, naik keluar sumur. Jangan coba terjun ke dalam sumur bila kemampuan berenang rendah apalagi tidak bisa naik keluar sumur. Beberapa teman yang hebat bahkan terjun ke dalam sumur dengan salto, melompat dengan kepala masuk terlebih dahulu ke dalam air. Bukan kolam renang, tapi keseruannya bisa melebihi keseruan berenang di kolam renang besar.
Dalam keseruan itu, ada saja teman yang iseng. Suatu ketika, Hasanuddin (almarhum), asal Musolembu, pulau dekat Madura, terjun ke sumur Tunis. Jangan ditanya kelihaiannya berenang. Beliau orang laut, kelihaian berenang bagaikan ikan lumba-lumba. Saat asik berenang itu ada seorang yang "ngerjain". Teman-teman lain disuruh naik keluar sumur. Lalu tali ditarik ke atas. Tinggal Hasanudin sendirian. Tak sadar tali untuk naik sudah diambil. Dia terlihat asik berenang menyelam timbul di dalam sumur. Sampai ketika sudah lelah, dia baru sadar bahwa tali untuk naik tidak ada. Teman-teman pun meninggalkannya sendirian. Dia berteriak-teriak minta tolong. Mereka tidak peduli. Suara Hasanuddin hampir tak terdengar lagi. Rupanya sudah kehabisan suara. Untung ada satu teman yang peduli menolong. Kalau tidak, dia bisa jadi ikan lumba-lumba beneran.
Sumur Tunis penuh nostalgia. Sumur tempat berkumpulnya 'presiden dan para menteri' santri sehabis lelah bekerja. Tempat berkumpulnya "kaum proletar" (kelas enam yang tidak mendapat tugas sebagai pengurus OPPM). Setelah melepas lelah di Sumur Tunis seorang Qismul Amn (Bagian Keamanan) kembali bersemangat bertugas mengamankan Pondok, Qismut Ta'lim (Bagian Pengajaran) menemukan cara baru untuk memotivasi santri, Qismul Kasyafah (Bagian Pramuka) berkobar menyalakan api semangat santri, Qismun Nadzafah (Bagian Kebersihan) semakin rajin menggerakkan santri menuju pola hidup bersih. Dari Sumur Tunis, seorang santri menjadi lebih semangat belajar, semangat berkreasi, dan semangat berkhidmah. Banyak santri menemukan ide baru, solusi baru, dan semangat baru bagi kemajuannya dan kemajuan Pondok. Sumur Tunis banyak memberi inspirasi. Dari Sumur Tunis, banyak santri mengukir prestasi. Sumber: www.republika.id
0 Komentar