Mengenal Gontor

Di sebuah desa di Ponorogo Jawa Timur, berdiri Pondok Modern Gontor, salah satu pesantren modern terbesar di Indonesia. Didirikan pada 20 September 1926 silam, Gontor kini memiliki 21 kampus yang tersebar dari Sumatera, Jawa, hingga Sulawesi. 

Berdirinya Pondok Modern Gontor tidak bisa dilepaskan oleh sosok yang kerap disebut trimurti, yaitu K.H. Ahmad Sahal, K.H. Zainudin Fananie, K.H. Imam Zarkasyi. Ketiga kakak beradik itu adalah pencetus berdirinya Pondok Gontor yang modern. Sebelumnya, Gontor adalah pesantren tradisional. Nama Gontor sendiri merujuk pada sebuat tempat yang menjadi sarang penyamun dan penjahat.
  
Namun, setelah ketiganya kembali belajar dari institusi modern di berbagai daerah, maka didirikanlah Pondok Gontor yang modern. Lalu, apa yang menjadi ciri dari Pondok Gontor ketika menyandang nama modern? 
Menurut pengasuh Pondok, Kiai Hasan Abdullah Sahal yang merupakan putra dari K.H. Ahmad Sahal, Gontor menganut pola keterbukaan.

"Keterbukaan itu ada di dalam ayat Al quran. Wahai orang-orang yang beriman telah dikatakan kepada kamu, lapangkanlah tempat dudukmu. Orang yang tidak mau melapangkan, itu orang yang tidak berkemanusiaan. Setiap masa ada tokohnya, ada masalahnya, dan ada perkembangannya," ucap Hasan dalam pidatonya yang dihadiri kumparan (kumparan.com), Kamis (12/4). 

Senada dengan Kiai Hasan, Ahmad Suharto, wakil pengasuh santri di Pondok Gontor Putri 1 di Ngawi, para santri di Gontor diajarkan untuk bisa lebih terbuka dengan banyak hal.  

"Barangkali anak Gontor lebih terbuka lebih bisa autodidak dan mengembangkan dan lebih berani mengkaji kitab yang belum pernah dipelajari. Sementara dari pondok-pondok lainnya mereka merasa kurang etis mengkaji kitab tanpa guru," kata Suharto kepada kumparan saat ditemui di rumahnya (15/4).  

Di Gontor, para pengasuh juga menekankan orientasi kemasyarakatan, tidak hanya pada keilmuan. Oleh karena itu, para santri Gontor akan dibentuk karakter dan mentalitas mereka supaya bisa berjuang di masyarakat. Aspek keteladanan adalah hal yang diutamakan para pengasuh untuk membentuk karakter dan mentalitas tersebut. 

"Maka mentalitas di Gontor itu yang diutamakan adalah keteladanan maka kami semua di sini hidup bersama santri. Kiai Gontor adalah kiai santri yang waktunya 24 jam untuk santri, mereka tidak boleh terlalu (sering) keluar (pondok)," sebut Suharto.  

Metode Pengasuhan

Selama 92 tahun berdiri sebagai pondok modern, jumlah santri di Gontor hampir tak terhitung banyaknya. Mereka datang dari Sabang hingga Merauke, bahkan ada yang datang dari luar negeri.

Banyaknya santri yang belajar di Gontor tentunya membuat Pondok ini diwarnai dengan keberagaman. Meski begitu, perbedaan itu tidak membuat para santri terpecah, para pengasuh mengatur sedemikian rupa agar mereka bisa berbaur satu sama lain. 

"Di sini dalam mengatur apa saja tidak membedakan suku. Di dalam satu kamar, tidak boleh satu daerah. Dalam permainan sepak bola, satu tim tidak boleh satu daerah. Di dalam bermain musik, drum band, sampai pencak silat dan kegiatan apa pun tidak ada sukuisme. Di sini tidak ada bahasa daerah, adanya bahasa Indonesia," terang Kiai Hasan.  

Semua santri Gontor setiap enam bulannya akan digilir bergantian kamar. Mereka akan ditempatkan bersama kawan dari daerah lain yang berbeda. 

Selain suku, latar belakang ekonomi keluarga di Gontor juga beragam. Oleh karena itu, untuk menyiasatinya, Pondok membatasi jumlah baju yang dibawa, menyamakan menu makanan, dan juga menerapkan sistem menabung, ATM tidak diperkenankan di Gontor. 

"Tidak membedakan anak jenderal dengan anak prajurit, anak majikan dengan anak karyawan. Antara yang bertitel dengan anak yang awam. Anak-anak kita samakan. Yang kaya dan yang miskin, bayar sama bayar sama, tidak ada yang sombong tidak ada yang minder. Inilah Pancasila ada di sini, yang ndak ada apanya di sini, inilah Pancasila. UUD 1945 ada di sini, Bhineka Tunggal Ika ada di sini," lanjut Kiai Hasan.  

Metode Pembelajaran
 
Jauh dari rumah tentu membuat santri Gontor rindu dengan orang tuanya. Namun, hal itu disiasati Pondok dengan membuat metode pembelajaran yang menyibukkan santri. Saat santri sibuk, mereka tidak akan mudah merindukan rumah dan orang tua mereka. 

"Melalui kegiatan yang padat dan banyak sehingga anak-anak tidak punya waktu kosong. Oleh karena itu, terbentuk kepribadian para santri yang aktif kreatif, dan juga produktif," tutur Suharto.  

Selama bertahun-tahun hidup di Pondok dengan disiplin kegiatan yang padat, disiplin waktu yang padat, aktivitas yang banyak yang terbimbing dan terarah, menurut Suharto membuat santri akan menjadi pribadi yang unggul.  

"Mereka akan menjadi pribadi-pribadi yang cekatan, terampil, yang all around, punya banyak kreativitas, itu yang diharapkan. Sehingga anak-anak Gontor nanti diharapkan menjadi pemikir dan penggerak," sebut Suharto. 

Selain dengan aktivitas yang padat, santri Gontor juga dituntut berbicara dalam tatanan setiap hari dengan Bahasa Arab dan Inggris. Setiap 3 pekan di satu bulannya, mereka harus berbicara dengan Bahasa Arab, sedangkan sisanya mereka harus menggunakan Bahasa Inggris.  

Jika tidak menggunakan bahasa yang sudah ditentukan, maka konsekuensi telah menanti para santri. Sanksi akan diberikan sesuai jenis pelanggaran yang dilakukan, apakah berat atau ringan.
  
Untuk menunjang lancarnya proses pembelajaran, santri di Gontor juga tidak diperkenankan membawa ponsel. Mereka bisa menelepon dengan pergi ke wartel yang disediakan Pondok.  
Salah seorang santri Gontor, Din Rusyda (24), mengungkap dia sempat berat meninggalkan orang tuanya. Namun, lama kelamaan dia menikmati hidup menjadi santri di Gontor. Kini, perempuan yang akrab disapa Din itu sudah 12 tahun 'mondok' di Gontor.  

"Dulu awalnya berat meninggalkan orang tua, karena saya agak manja. Tapi setelah orang tua meyakinkan, akhirnya saya memutuskan mondok di Gontor. Setelah bertahun-tahun saya menikmati pendidikan di sini," papar Din saat berbincang dengan kumparan di sebuah masjid di Gontor.  Sumber: www.kumparan.com

Posting Komentar

0 Komentar